LAYAKKAH SEORANG 'G' DEMIKIAN?

Hasil gambar untuk teacher photograph

Rabu, 21 maret 2018: Sebuah kisah fakta yang bisa kau sebut fiksi, karena bercampur dengan opini.


Pukul 8 lewat beberapa menit. Saya berada di Ruang itu untuk melaksanakan ujian. Jika kalian bertanya, kenapa saya harus ujian di Ruang itu, menurut saya ini tidak penting. Karena tulisan ini ditulis bukanlah perihal saya. Tapi lebih dari itu. Yang terpenting untuk dirimu adalah saya mendapat banyak informasi di Ruang itu. Karenanya saya menuliskan hal ini.


Ada keributan sebelum saya memulai ujian. Ya, ternyata persoalan pemalsuan kartu ujian yang dilakukan oleh sejumlah teman-teman saya. Itulah yang menjadi perbincangan dalam masalah itu. Saya mencoba mengerjakan soal sambil suka-tidak-suka mendengar semua orang di dalam ruang itu membicarakan hal tersebut.


Semua G dalam ruang itu, dari yang bisa saya simak, mereka menyatakan bahwa teman-teman saya yang melakukan pemalsuan kartu ujian dengan cara men-scan itu sebuah tindakan "enggak tahu malu dan kurang ajar,".


Konsentrasi saya terpecah antara mengerjakan soal dan menyimak obrolan G di Ruang itu. Masalah tersebut seperti menjadi menu sarapan pagi itu. Para G menelan sarapannya tanpa mengunyah atau merasakan lezat atau tidaknya terlebih dahulu, tentu dengan dan memandangnya dengan sebelah mata. Apakah memang benar demikian, bahwa teman-teman saya "enggak tahu malu" dan "kurang ajar"?


Jujur, saya tidak habis pikir. Malah saya berpikir. Bukan berpikir tentang jawaban soal ujian yang saya sedang kerjakan, melainkan berpikir kenapa mereka, para G itu, tidak bisa melihat dari sisi yang lain ihwal alasan teman-teman saya melakukan perbuatan tersebut.


Selang 35-40 menit, ada seorang G berjalan ke arah saya dan menanyakan pendapat kepada saya tentang masalah itu. 


Menurut saya itu salah. Dan kenapa teman-teman saya harus melakukannya. Tentu mereka memiliki alasan. 


Kau tahu, saya juga pernah berada di masalah seperti itu (belum bayar uang sekolah sementara ujian segera berlangsung). Dan saya merasa tertekan. Bagaimana tidak tertekan? Bayangkan saja, pertama, kita dijadikan minoritas dan dibedakan dalam urusan yang sepatutnya tidak terjadi. Karena belum membayar uang sekolah dengan batas tertentu, saya tidak mendapat kartu ujian, dan  sebagai penggantinya setiap hari saya harus lapor ke panitia ujian dan membuat janji, atau minimal alasan mengapa (orangtua) saya belum membayar uang sekolah, lalu barulah saya mengantri untuk mendapatkan kartu sementara ujian. Saya tidak akan mendapat kartu ujian tetap bila saya belum bayaran sekolah.


Bayangkanlah, bila kita memang benar-benar orang 'susah' dan terdapat kendala sehingga kita belum bisa melunasi uang sekolah, tapi apakah layak bahwa sekolah tempat kita mencari ilmu pun mendidik kita tetap menjadi orang 'susah' dan kita tidak menjadi selayaknya. Saya pikir sekolah tidak demikian. Atau saya berharap sekolah tidak seperti itu.


Maka dari itu, dalam kasus tersebut, saya membayangkan para G mengerti alasan mereka memalsukan itu. Anggaplah, jika anak kalian mendapat hal yang sama seperti itu? Ditekan masalah uang sekolah dan lain hal sebagainya, apakah kamu memaafkan para G yang menyebut anakmu "enggak tahu malu" dan "kurang ajar" karena satu kondisi yang memaksa mereka untuk melakukan demikian? 


Dan lagian, kenapa sih mesti ujian?


Katanya G itu orangtua yang ke dua. Apakah itu artinya G orang tua tiri? Bahkan sampai-sampai tidak mengerti masalah yang kita hadapi dalam S? Saya tidak bisa menjawab hal tersebut.


Ah.. tidak seberapa itu. Saya hanya siswa yang selalu dianggap bodoh oleh G. Menurut mereka, saya tidak harus terlalu permasalahkan masalah perbincangan dalam ruangan itu. Urusan saya adalah belajar-belajar dan belajar. Lalu ujian. Meski sering G memperlakukan kami bukan sebagai manusia melainkan hewan ternak di dalam penjara.


Ketika G tersebut menanyakan, tentu saya tidak menjawab sebagaimana saya tulis di paragraf-paragraf sebelum. Saya hanya diam dan mengangguk lalu melanjutkan mengerjakan soal ujian di hadapan saya. Meski pikiran saya kemana-mana.


Pukul 10. Saya kembali ke ruang kelas untuk mengikuti ujian. Di sana saya dijaga oleh seorang G laki-laki. Sebutlah dia Si Bapak Perfeksionis. 


Betapa terkejutnya saya bahwa, Si Bapak Perfeksionis ini membicarakan sarapannya di depan kami. Saya yang melihat dan mendengar langsung bagaimana para G menggunjing dan membicarakan tentang siswa yang memalsukan kartu ujian di dalam Ruang itu. Sungguh bajingan. Saya tidak menyangka G akan menceritakan hal tersebut. Bukankah itu sama saja mengumbar sesuatu yang tak perlu diumbar?


"Heey bangsat! Apakah perlu kau umbar-umbar sarapan yang telah kau makan tadi? Bahkan kau masih makan sarapan itu dengan langsung menelannya. Tanpa mengunyah dan merasakan rasa masakan itu." batin saya ketika memulai menghitamkan lembar jawaban. 


Saya merasa sedih sekali. "Yang kau sampaikan itu adalah rancu, Pak. Rancu untuk kami. Dan sadarlah, Pak, yang kamu umbar itu aib seorang siswamu. Siswa adalah anak bagi seorang 'guru', kata orang begitu, Pak. Tapi, layakkah seorang guru mengumbar aib siswanya?"


Saya mengerjakan soal ujian sejarah  dengan perasaan amat sedih. Meskipun saya masih ragu apakah memalsukan kartu ujian karena memang (kebetulan) belum membayar uang sekolah adalah aib. Karena kemiskinan (katakanlah begitu) bukanlah aib, tidak peduli kepada sesama itulah aib.



Editor: Tyo Prakoso


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Carpon jeung Analisis

Perpeloncoan dan Ospek Daring

MENONTON KUCUMBU TUBUH INDAHKU, MERAYAKAN TUBUH