Ekspedisi Jati Diri



Jamboree FIK UNJ adalah satu kegiatan yang paling menegangkan, bahkan bisa dibilang menyenangkan. Jamboree atau nama kerennya Outdoor based Character Building (OBCB) dilaksanakan di Jatiluhur, Purwakarta selama empat hari. Dimana satu harinya kami habiskan di kampus kami tercinta, kampus B. Lebih tepatnya di Hall B.

Empat hari untuk selamanya, mungkin kalimat itu hampir sama dengan sebuah film indonesia dengan judul “tiga hari untuk selamanya” yang di sutradarai oleh Riri Riza. Namun, isi dari film itu tidak perlu disamakan dengan empat hari perjalanan mencari jati diri setiap mahasiswa FIK. Menurut saya, ini adalah ekspedisi jati diri. Memang bahasa yang dipakai terlalu semu untuk segala hal yang telah di lalui.

Empat hari yang memberikan kita sebuah jawaban, mungkin bukan hanya sebuah jawaban yang ditemukan, tetapi juga sebuah kunci. Kunci untuk membuka pintu jati diri masing-masing insan. Tidak mudah memang membuka pintu itu. Nampaknya, empat hari yang kita lalui ini seperti halnya dalam film 5cm yang disutradarai oleh Rizal Mantovani, dimana salah satu aktornya, Herjunot Ali, bisa dibandingkan tingkat ketampanannya dengan senior pujaan para mahasiswi FIK. Saya tak perlu menyebutkan namanya, mungkin jika kusebutkan inisialnya saja kalian akan tahu, depannya huruf Q, tengahnya I, dan belakangnya O. Sudah cukup bukan? Coba kalian bayangkan dulu, siapa yang memiliki raut muka lebih tampan, Herjunot ali atau Senior Qio? Ah sial! Saya malah membayangkan Raja. Ntah seberapa tampan wajahnya, tapi kenapa selalu terbayang dan terngiang ketika sekaligus saya mengingat Jamboree. Sudah lah, kembali pada topik lagi.

Mengapa 5 cm menjadi sebuah filosofi yang tepat untuk Jamboree atau OBCB 2019 ini. 5 cm menuju kematian dan harapan, tertuang semua makna yang utuh dalam film itu untuk Jamboree yang telah saya rasakan. Saya menemukan semuanya: persahabatan, luka, tawa, duka, air, nyawa, udara, semuanya bercampur menjadi satu dalam sebuah pengalaman yang membekas hingga kita menua, tidak lupa juga dengan encu (Jentik nyamuk).

Berenang bukanlah keahlian saya dan beberapa teman saya. Namun, kewajiban untuk melakukan penyebrangan basah merupakan stimulus pada diri kita untuk bisa melewatinya. Menyebrangi waduk jatiluhur yang luasnya bukan main menjadi satu pengalaman untuk kita semua. Menggapai tangan satu dengan lain, saling menolong tanpa mengenal ras. Memberikan semangat terhadap satu dengan lainnya agar dapat menyelesaikan penyebrangan basah. Hingga di tepian rasanya seperti mendapat kemenangan.

Hari pertama hingga hari keempat, kita semua sama-sama melangkahkan kaki untuk melalui kepahitan ini semua. Dehidrasi menjadi klimaks dari Ekspedisi Jati Diri, persoalan rumit yang terus menerpa setiap raga. Panas matahari yang mengernyit hingga ke ubun-ubun, tidak tertahankan dengan diri ini. Semakin lama, kian menjadi-jadi. Ada beberapa yang telah merasakan kunang-kunang di matanya. Pertanda tidak baik untuk itu.

Persoalan mandi atau tidak, sudah tidak terpikirkan oleh kami. Kami hanya berpikir bagaimana air didapat untuk mencegah dari dehidrasi.

Alih-alih hanya berfokus pada pencarian setangki air waduk. Kami lupa untuk memperhatikan sekitar kita. Para senior telah memperingatkan akan hal awareness terhadap sekitar. Alam telah menyediakan, jadi jangan takut.

Tetap tabah sampai akhir, kata-kata yang di doktrin ke dalam lelah kami.
Ketika matahari terbenam, tidak ada lagi kasur empuk untuk menemani tidur kami. Kami hanya bermodalkan ponco (jas hujan), tali pramuka, dan webing untuk mendirikan istana kami untuk singgah di malam hari. Bivak dan Hamoock dapat berdiri hanya dengan bermodalkan ketiga alat itu dan dapat menjadikan tidur kami lelap.

Sebelum matahari muncul, peluit dibunyikan dan pertanda waktu tidur kita telah usai. Fajar belum terlihat, maka shalat subuh ditunaikan. Dengan beralaskan ponco, kami mendirikan shalat. Dimanapun engkau berada, tetaplah ingat pada tuhan mu. Sembhayang lah.

Mentari telah memunculkan senyum jingganya, kami telah bersiap dengan pakaian putih yang telah disediakan. Kami dikumpulkan dalam satu lapang besar. Hari dimana kami diingatkan pada tiga hari sebelum hari ini, hari penutupan. Ah, mungkin terlalu halus jika di katakan sebagai hari penutupan. Banyak yang berkata, ini adalah hari pembalasan. Sebagaimana kita dapat melakukan apapun pada senior.

Pada akhirnya apa yang saya katakan barusan sebetulnya tidak benar-benar terjadi.

Kami mengangkat tangan kami setinggi mungkin, lalu tak lupa jemari menutup mata dan telinga. Sebut saja dengan Boombata atau Boomata atau apapun itu cara penyebutannya. Sebetulnya ketika kami melakukan boombata, seratus persen suara dari luar masih terdengar dengan jelas. Pun dengan derap langkah kaki yang kian melaju. Bukan hanya satu orang yang melangkah, dua, tiga, empat, bahkan lebih. Dalam kondisi mata tertutup, kami hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi. Boom, suara bising. Lalu kami melepas jemari kami dan melihat sorak sorai para senior telah melemparkan serbuk-serbuk berwarna-warni. Serbuk holi dimana-mana. Pakaian yang kami kenakan berwarna, tidak sekedar putih saja.

Tawa kita sangat lepas melihat apa yang terjadi, bahkan hingga air mata terjatuh tanpa sadar.

Melihat ulang perjuangan bersama-sama dari hari pertama. Melawan hal-hal yang tidak mungkin, menjadi mungkin ketika dilakukan bersama-sama. Menurunkan ego masing-masing tanpa harus menurunkan harga diri. Memperbesar hati setiap raga, tanpa harus memperbesar kepala. Juga memperbaiki cara bersikap, tanpa harus memperbaiki cara berbohong. Hingga kita dapat melawatinya.

Terimakasih kawan yang sudah tabah sampai akhir. Ini bukan sebuah akhir, menurutku ini adalah awal perjalanan kita di FIK. Kita harus tabah sampai lulus.

Tabah ketika kita harus terbentur. Seperti yang pernah diucap oleh tan malaka yang beliau abadikan dalam karya tulisnya “Dari Penjara ke Penjara” dimana yang membuat beliau terus melangkah, walau harus “terbentur, terbentur, terbentur,” sebelum “terbentuk,” adalah bahwa “kebenaran, akhirnya harus saya tegakkan.” Begitulah yang di tulis oleh Tan Malaka.

Salam penutup dari saya, sebagai manusia daur ulang. Ceritakan lah setiap tetes keringat yang telah jatuh itu, ketika kamu bertahan dan menyelesaikan Jamboree ini. Tidak perlu malu. Berbangga lah dan berbahagia lah kalian.

Saya tidak pamit.  


Sumber Foto: Perkumpulan Hockey UNJ (Facebook)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Carpon jeung Analisis

Perpeloncoan dan Ospek Daring

MENONTON KUCUMBU TUBUH INDAHKU, MERAYAKAN TUBUH